Menelan merupakan satu proses yang kompleks yang memungkinkan
pergerakan makanan dan cairan dari rongga mulut ke lambung. Proses ini
melibatkan struktur di dalam mulut, faring, laring dan esofagus. 1,2
Keluhan
sulit menelan (disfagia) merupakan salah satu gejala kelainan atau
penyakit di orofaring dan esofagus. Keluhan ini akan timbul bila
terdapat gangguan gerakan
otot-otot menelan dan gangguan
transportasi makanan dari rongga mulut ke lambung. Jenis makanan yang
menyebabkan disfagia dapat memberikan informasi mengenai kelainan yang
terjadi.1-5
Salah satu metode pemeriksaan penunjang diagnostik disfagia adalah dengan menggunakan
endoskop
fleksibel yang disebut Flexible Endoscopic Evaluation of Swallowing
(FEES). Metode ini pertama kali dikembangkan oleh Susan Langmore dan
kawan-kawan pada tahun 1998. Tujuan dari FEES adalah untuk menegakkan
diagnosis disfagia pada fase faringeal, menentukan kelainan anatomi dan
fisiologi penyebab disfagia dan menentukan posisi yang aman dan lebih
efisien untuk menelan pada penderita disfagia. Saat ini
FEES telah
dilengkapi dengan tes sensorik dan disebut sebagai Flexible Endoscopic
Evaluation of Swallowing with Sensory Test (FEESST). 2,5-12
II. ANATOMI
A. Rongga mulut 13
Bibir
dan pipi terutama disusun oleh sebagian besar otot orbikularis oris
yang dipersarafi oleh saraf fasialis. Ruangan di antara mukosa pipi
bagian dalam dan gigi
adalah vestibulum oris. Palatum dibentuk oleh
tulang dari palatum durum di bagian depan dan sebagian besar dari otot
palatum mole di bagian belakang. Dasar mulut di antara lidah dan gigi
terdapat kelenjar sublingual dan bagian dari kelenjar submandibula.
Muara duktus sub mandibularis terletak di depan dari frenulum lidah
Lidah
merupakan organ muskular yang aktif. Dua pertiga depan dapat
digerakkan, sedangkan pangkalnya terfiksasi. Korda timpani mempersarafi
cita rasa lidah
duapertiga bagian depan dan n. glossofaringeus pada sepertiga lidah bagian belakang.
B. Faring 13,14
Faring
adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong
dimulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke esofagus setinggi
vertebra servikal 6. Faring berhubungan dengan rongga hidung melalui
koana dan berhubungan dengan rongga mulut
melalui ismus orofaring,
sedangkan dengan laring berhubungan melalui aditus laring dan ke bawah
berhubungan dengan esofagus. Otot-otot faring tersusun dalam lapisan
memanjang (longitudinal) dan melingkar (sirkular). Otot-otot yang
sirkuler terdiri dari m. konstriktor faring superior, media dan
inferior. Otot-otot ini berbentuk
kipas dengan tiap bagian bawahnya
menutup sebagian otot bagian atasnya dari belakang. Di sebelah depan,
otot-otot ini bertemu satu sama lain dan di bagian belakang bertemu
pada jaringan ikat yang disebut rafe faring. Batas hipofaring di
sebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas anterior adalah
laring, batas posterior ialah vertebra servikal serta esofagus di
bagian inferior. Pada pemeriksaan laringoskopi struktur pertama yang
tampak di bawah dasar lidah adalah valekula. Bagian ini merupakan dua
buah cekungan yang dibentuk oleh ligamentum glossoepiglotika medial dan
ligamentum glosoepiglotika lateral pada tiap sisi. Di bawah valekula
adalah permukaan laringeal dari epiglotis. Epiglotis berfungsi
melindungi glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan pada saat
bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esofagus. Persarafan
motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus faringealis.
Pleksus ini dibentuk oleh cabang faringeal dari n. vagus, cabang dari n.
glossofaringeus
dan serabut simpatis. Dari pleksus faringealis keluar cabang-cabang
untuk otot – otot faring kecuali m. stilofaringeus yang dipersarafi
langsung oleh
cabang n. glosofaringeus.
C. Esofagus 2-4,13
Esofagus
merupakan bagian saluran cerna yang menghubungkan hipofaring dengan
lambung. Bagian proksimalnya disebut introitus esofagus yang terletak
setinggi batas bawah kartilago krikoid atau setinggi vertebra servikal
6. Di dalam perjalanannya dari daerah servikal, esofagus masuk ke dalam
rongga toraks. Di dalam rongga toraks , esofagus berada di mediastinum
superior antara trakea dan kolumna vertebra terus ke
mediastinum
posterior di belakang atrium kiri dan menembus diafragma setinggi
vertebra torakal 10 dengan jarak kurang lebih 3 cm di depan vertebra.
Akhirnya esofagus ini sampai di rongga abdomen dan bersatu dengan lambung di daerah kardia.
Berdasarkan
letaknya esofagus dibagi dalam bagian servikal, torakal dan abdominal.
Esofagus menyempit pada tiga tempat. Penyempitan pertama yang bersifat
sfingter terletak setinggi tulang rawan krikoid pada batas antara
esofagus dengan faring, yaitu tempat peralihan otot serat lintang
menjadi otot polos. Penyempitan kedua
terletak di rongga dada bagian
tengah, akibat tertekan lengkung aorta dan bronkus utama kiri.
Penyempitan ini tidak bersifat sfingter. Penyempitan terakhir terletak
pada hiatus esofagus diafragma yaitu tempat esofagus berakhir pada
kardia lambung. Otot polos pada bagian ini murni bersifat sfingter.
Inervasi esofagus berasal dari dua sumber utama, yaitu saraf
parasimpatis nervus vagus dan saraf simpatis dari serabut-serabut
ganglia simpatis servikalis inferior, nervus torakal dan n. splangnikus.
III. FISIOLOGI
Dalam proses menelan akan terjadi hal-hal seperti berikut :
(1) pembentukan bolus makanan dengan bentuk dan konsistensi yang baik
(2) usaha sfingter mencegah terhamburnya bolus ini dalam fase-fase menelan,
(3) kerja sama yang baik dari otot-otot di rongga mulut untuk mendorong bolus makanan ke arah lambung
(4) mencegah masuknya bolus makanan dan minuman ke dalam nasofaring dan laring
(5) mempercepat masuknya bolus makanan ke dalam faring pada saat respirasi
(6) usaha untuk membersihkan kembali esofagus.
Proses menelan dapat dibagi dalam tiga fase yaitu :
1. Fase Oral1-4,7
Fase
oral terjadi secara sadar, makanan yang telah dikunyah dan bercampur
dengan liur akan membentuk bolus makanan. Bolus ini akan bergerak dari
rongga mulut melalui dorsum lidah ke orofaring akibat kontraksi otot
intrinsik lidah. Kontraksi m.levator veli palatini mengakibatkan rongga
pada lekukan dorsum lidah diperluas, palatum molle terangkat dan bagian
atas dinding posterior faring akan terangkat pula. Bolus kemudian akan
terdorong ke posterior karena lidah yang terangkat ke atas. Bersamaan
dengan ini terjadi penutupan nasofaring sebagai akibat kontraksi m.
levator palatini. Selanjutnya terjadi kontraksi m. palatoglossus yang
menyebabkan ismus fausium
tertutup, diikuti oleh konraksi m. palatofaring, sehingga bolus makanan tidak akan berbalik ke rongga mulut.
2. Fase Faringeal 1- 4,7
Fase
faringeal terjadi secara refleks pada akhir fase oral, yaitu
perpindahan bolus makanan dari faring ke esofagus. Faring dan laring
bergerak ke atas oleh kontraksi m. stilofaring, m. salfingofaring,
m.tirohioid dan m. palatofaring. Aditus laring tertutup oleh epiglotis,
sedangkan ketiga sfingter laring, yaitu plika ariepiglotika,
plika
ventrikularis dan plika vokalis tertutup karena kontraksi m.
ariepiglotika dan m. aritenoid obliqus. Bersamaan dengan itu terjadi
penghentian aliran udara ke laring karena refleks yang menghambat
pernapasan sehingga bolus makanan tidak akan masuk ke saluran napas.
Selanjutnya bolus makanan akan meluncur ke arah esofagus, karena
valekula dan sinus piriformis sudah dalam keadaan lurus.
3. Fase Esofageal 1- 4,7
Fase
esofageal adalah fase perpoindahan bolus makanan dari esofagus ke
lambung. Dalam keadaan istirahat introitus esofagus selalu tertutup.
Dengan adanya rangsangan bolus makanan pada akhir fase faringeal, maka
terjadi relaksasi m. krikofaring sehingga
introitus esofagus terbuka dan makanan masuk ke esofagus. Gerakan bolus makanan pada esofagus
bagian
atas masih dipengaruhi oleh kontraksi m. konstriktor faring inferior
pada akhir fase faringeal. Selanjutnya bolus akan didorong ke distal
oleh gerak peristaltik esofagus
III. Penatalaksanaan
IV. EVALUASI MENELAN DENGAN MENGGUNAKAN ENDOSKOPI FLEKSIBEL (FEES)
Indikasi1,5,6,8,10
Secara
umum indikasi FEES adalah untuk mengevaluasi pasien dengan kesulitan
menelan dan kemungkinan resiko aspirasi dalam proses menelan. Metode
ini juga dapat menentukan intake nutrisi yang optimal untuk
meminimalkan resiko aspirasi.
Indikasi lain adalah :
Menilai struktur anatomi orofaring, nasofaring dan laringofaring.
Menilai integritas sensorik struktur faring dan laring
Menilai kemampuan pasien untuk melindungi jalan napas pada saat menelan
Kontra indikasi 5,6,8,10
Pasien dengan kelainan darah
Etiologi disfagia berlokasi di esofagus
Keuntungan5,6,8,10
Non radioaktif
Portabel
Tidak memerlukan ruangan khusus
Hasilnya dapat langsung diketahui
Kerugian6,8,10
Blind spot
Tidak dapat mengevaluasi krikofaring dan
esofagus
Prosedur pemeriksaan
Agar
pemeriksaan FEES ini dapat berlangsung dengan baik dan untuk
menghindari komplikasi yang mungkin timbul, perlu diperhatikan
persiapan yang optimal. Persiapan ini meliputi.
1. Persiapan penderita. 5,8,10
Sebelum tindakan FEES perlu dilakukan :
Anamnesis lengkap dan cermat
Pemeriksaan THT rutin
Pemeriksaan darah terutama penderita dengan
kecurigaan gangguan penyakit perdarahan
Pemeriksaan tanda-tanda vital sesaat sebelum
pemeriksaan
2. Anestesi 8,10
Anestesi
dan atau dekongestan topikal digunakan untuk mengurangi rasa tidak
nyaman. Namun demikian penggunaannya tidak dianjurkan karena dapat
mempengaruhi aspek sensoris dari menelan. Pemakaian lubrikan (K-Y
Jelly) di ujung endoskop dapat
memudahkan insersi endoskop
3. Persiapan alat 5-10
Alat-alat dan bahan yang dibutuhkan adalah :
1. Endoskop fleksibel
2. Light source
3. Stimulator sensoris pada ujung endoskop
4. Monitor televisi
5. Kamera dan video untuk merekam
6. Mavigraf
7. Minuman dan makanan yang berwarna dengan berbagai konsistensi
Teknik pemeriksaan5-10,12
FEES
dilakukan di poliklinik atau ruang perawatan. Pasien dalam posisi duduk
menghadap pemeriksa atau bisa juga dengan posisi berbaring. Endoskop
dimasukkan ke dalam vestibulum nasi menelusuri dasar hidung, kearah
velofaringeal masuk ke dalam orofaring. Pada pemeriksaan FEES perlu
diperhatikan hal-hal sebagai berikut
Evaluasi kompetensi velofaringeal
Evaluasi faring. Meliputi dasar lidah, epiglotis, valekula, dinding posterior dan lateral faring serta sinus piriformis.
Evaluasi
laring dan supra glotis meliputi plika ariepiglotik, insisura
nteraritenoid, plika vokalis dan plika ventrikularis, subglotik dan
bagian proksimal trakea. Evaluasi pergerakan laring pada saat respirasi
dan fonasi.
Evaluasi pengaturan sekret
Prosedur pemeriksaan FEES
ada 2 tahap , pertama yaitu evaluai refleks adduktor laring terhadap
rangsangan berupa pulsasi udara yang diberikan melalui saluran khusus
dalam endoskop dan yang kedua evaluasi menelan makanan berwarna dengan
berbagai konsistensi.
1. Flexible Endoscopic Evaluation of Swallowing with
Sensory Testing (FEESST).
Tingkat
sensoris supra glotik dan faring diukur dengan memberikan stimulus
berupa pulsasi udara dengan tekanan dan durasi tertentu pada kedua sisi
lateral aritenoid untuk membangkitkan refleks adduktor laring
(Laryngeal Adductor Reflex = LAR). Masing-masing stimulus udara
diberikan dalam interval 3 detik. Stimulus udara selama 50 milidetik
pertama diberikan pada level supratreshold (tekanan pulsasi udara/APP
10 mmHg) untuk masing-masing sisi laringofaring. Bila tidak ada respon
pada satu sisi tertentu, stimulus supra treshold diulangi kembali.
Apabila setelah 3 kali percobaan
pemberian pulsasi udara 50
milidetik belum ada respon, maka pasien diberikan stimulus pulsasi
udara kontinyu selama 1 detik. Bila tetap tidak ada reaksi setelah
stimulasi dengan pulsasi udara kontinyu, maka pasien dikatakan tidak
mempunyai LAR atau mengalami defisit sensorik berat dan tidak perlu
dilakukan tes sensoris lainnya dalam pemeriksaan FEES. Respon terhadap
pulsasi udara selama 50 milidetik pada tekanan > 6
mmHg disebut
defisit sensorik berat. Bila respon positif muncul pada level
supratreshold, pulsasi udara diberikan dengan tekanan 2 mmHg APP.
Apabila pasien
memberikan respon pada 2 mmHgAPP, maka ambang
sensoris dianggap 2 mmHg dan keadaan ini disebut normal. Bila pasien
tidak memberikan respon pada 2 mmHg APP, maka APP ditingkatkan
intensitasnya dengan menaikkan 1 mmHg sampai ada respon positif. Titik
di mana respon pasien berubah dari positif ke negatif atau dari negatif
ke positif disebut ambang sensoris dan ditentukan dengan menambahkan 2
angka di mana tampak perubahan dan hasilnya dibagi 2. Contoh : Pada
kedua sisi aritenoid diberikan rangsangan sebesar 10 mmHg. Kekuatan
pulsus udara selanjutnya dikurangi
sampai 2 mmHg sampai tidak ada
respon yang timbul. Kekuatan pulsasi udara kemudian ditingkatkan dengan
menaikkan 1 mmHg hingga timbul respon pada 4 mmHg. Titik di mana respon
berubah dari negatif ke positif terletak antara 2-4 mmHg. Oleh karena
itu resultan ambang sensoris adalah 3 mmHg (4 mmHg respon positif + 2
mmHg respon negatif = 6 mmHg. 6 : 2 = 3 mmHg)
Sensitivitas laringofaring ditentukan berdasarkan
kriteria berikut :
– Normal < 4 mmHgAPP
– Moderat 4 – 6 mmHgAPP
– Berat > 6 mmHgAPP.
2. Evaluasi Transport Bolus
Setelah
evaluasi kemampuan proteksi jalan napas, selanjutnya dilakukan
penilaian transport bolus makanan. Pasien menelan berbagai variasi
konsistensi makanan dan cairan yang telah diberi pewarna . Konsistensi
makanan yang diberikan berdasarkan diet yang terakhir diberikan dan
temuan evaluasi disfagia sebelumnya. Makanan diberikan dengan ukuran
bolus yang makin besar mulai dari 1/4 sensok teh (sdt), ½ sdt, dan 1
sdt. Cairan diberikan lewat sendok teh, cangkir dan sedotan. Proses
menelan dievaluasi untuk masingmasing presentasi. Urutan pemberian
makanan mulai
dari cairan, makanan lunak dan makanan padat.
Faktorfaktor yang dinilai adalah transit time oral, tepatnya waktu
inisiasi menelan, elevasi laring, spillage, residu,
kekuatan dan
koordinasi menelan, penutupan laring (retrofleksi epiglotis dan
penutupan plika vokalis), refluks, penetrasi dan aspirasi. Perhatikan
kemampuan
membersihkan residu makanan atau minuman , penetrasi dan
aspirasi, baik secara spontan ataupun dengan cara-cara tertentu
misalnya dengan merubah posisi kepala ke kiri atau ke kanan, menelan
beberapa kali atau menelan kuat-kuat.
Komplikasi 5,7,9,10
Survei yang dilakukan oleh Langmore pada tahun 1995 menemukan hanya 27 kasus dari 6000 prosedur FEES yang mengalami komplikasi.
Adapun komplikasi yang bisa timbul pada pemeriksaan FEES adalah sebagai berikut:
1. Rasa tidak nyaman . Biasanya ringan, dari 500
pemeriksaan dengan FEES dilaporkan 86 %
pasien merasa tidak nyaman yang ringan.
2. Epistaksis,.
3. Respon vasovagal
4. Alergi terhadap anestesi topikal
5. Laringospasme.



![]()
src=”http://bp1.blogger.com/_I0UHlGxoP6A/Rrzui_RIiAI/AAAAAAAAAAM/_ZAaxAkLSFQ/s320/Clip.jpg”
border=”0″ alt=””id=”BLOGGER_PHOTO_ID_5097211163142817794″ />
DAFTAR PUSTAKA
1.
Logemann JA. Mechanisms of normal and swallowing.In : Cumming CW, Flint
PW, Haughey BH eds. Otolaryngology head &neck surgery. 4 th ed.
Mosby Year Book, Toronto
1995. pp 1437-1445
2. Vollweiler JF,
Vaesi MF. The Esophagus : anatomy, phisiology and diseases. In :
Cumming CW, Flint PW, Haughey BH eds. Otolaryngology head &neck
surgery. 4 th ed. Mosby Year Book, Toronto 1995. pp 1835-1845
3.
Soepardi EA. Disfagia. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher. Edisi 5. Balai penerbit FKUI, Jakarta 2001.
4.
Goyal RK, Prasad M, Chang HY. Functional anatomy and physiology of
swalowing and esophageal motility. In : Castel DO, Richter JE. The
Esophagus. 4 th ed. Lippincot Williams & Wilkins, Philadelphia,
2003. pp 1-27
5. Langmore S. Information about the FEES Procedure. Available at ttp://www.kayelemetrics.com. Accessed on February 15th 2006
6. NN. Flexible endoscopic evaluation with sensory testing. Available at http:www.fees.com. Accessed on February 15th 2006
7. Boczko, Faerella. Swalowing disorder/Dysphagia. Available at http://www.healthinaging.com. Accessed February 15th 2006.
8.
Aviv J, Truelson JM, Talavera F. Flexible Endoscopic Evaluation of
Swallowing with Sensory Testing. Available at http://www.emedicine.com.
Accessed on February 15th 2006
9. Reddy S, Ryan MW. Dysphagia. Available at http://www.utmb.edu.com. Accessed on February 15th 2006.
10.
NN. FEES: The role of speech and language therapy. Policy statement
2005. Available at http://www.rcslt.org/news/FEES_policy. Accessed on
February 15th 2006
11. Wallace MB. Special endoscopic imaging and
optical techniques. In : Castel DO, Richter JE. The Esophagus. 4th ed.
Lippincot Wiliams & Wilkins, Philadelphia, 2003. pp 106-112
12. Paik, NJ. Dysphagia. Available at http://www.emedicine.com. Accessed on February 15th 2006.
13.
Liston SL. Embriologi, anatomi dan fisiologi rongga mulut, faring,
esofagus dan leher. Dalam : Boies Buku ajar penyakit THT. EGC. Penerbit
buku Kedokteran. Jakarta, 1997. Hal 264-71
14. Rusmarjono,
Kartosoediro S. Odinofagi. Dalam: Buku ajar ilmu kesehatan telinga
hidung tenggorok. Edisi 4. Balai penerbit Fakultas Kedokteran UI.
Jakarta,1990. 171-75.
Technorati Tags: disfagi, disfagia, dysphagia, esofagus, esophagus, Fees