IMMUNOSURVEILLANCE KANKER

Oleh : Binarwan Halim, M. Fauzie Sahil

 

Cermin Dunia Kedokteran No. 132, 2001 47

 

Immunosurveillance adalah suatu mekanisme yang digunakan oleh tubuh untuk bereaksi melawan setiap antigen yang diekspresikan oleh neoplasma. Fungsi primer dari sistem imun adalah untuk mengenal dan mendegradasi antigen asing (nonself) yang timbul dalam tubuh. Dalam immunosurveillance, sel mutan dianggap akan mengekspresikan satu atau lebih antigen yang dapat dikenal sebagai nonself. Sel mutan dianggap sering timbul dalam tubuh manusia dan tetapi secara cepat dihancurkan oleh mekanisme imunologis. Pada tikus yang kehilangan imunitas seluler dan terpapar agen onkogenik akan lebih cepat timbul tumor. Ini dianggap merupakan bukti mekanisme immunosurveillance.

Pasien dengan stadium lanjut lebih sering dalam keadaan imunosupresi dibanding pasien stadium awal. Pasien yang memakan obat imunosupresif setelah transplantasi renal

mengalami peningkatan insidensi keganasan (100 kali lebih besar dari kontrol). Hampir 50% tumor pada pasien imunosupresi berasal dari jaringan mesenkim, contohnya

sarkoma sel retikulum, tapi insiden neoplasia intraepitelial seperti CIN (Cervical Intraepithelial Neoplasia)(1,2)

juga lebih banyak dilaporkan. Walaupun ada penjelasan bagaimana immunosurveillance

mengatasi kanker, tapi kurang bukti bahwa mekanisme imun dapat menghalangi pertumbuhan kanker. Sel NK ternyata paling berperan dalam immunosurveillance tumor, ia dapat membunuh sel tumor langsung tanpa perlu disensitisasi terlebih

dahulu. Dalam immunosurveillance dianggap ada keadaan imunosupresi yang menyertai keadaan tumbuhnya tumor, terutama depresi sel NK. Salah satu syarat induksi tumor

dengan bahan karsinogenik pada hewan percobaan adalah adanya gangguan pada sistim imun terutama sel NK.

 

Kepustakaan :

1. Bast CR. Principles of Cancer Biology : Tumor Immunology. Dalam : Devita VT, Rosenberg SA, Hellman W. eds. Cancer Principles and Practice of Oncology, Ed V, Philadelphia : Lippincett-Reven, 1997; 267-83.

2. Disaia PJ, Creasman WT, Tumor Immunology, Host Defense Mechanism and Biologic Therapy. Dalam : Disaia JP. Creasman WT. Eds. Clinical Gynecology Oncology, Ed IV, Philadelphia L: Mosby 1997; 534-75.

Technorati Tags: , , , ,

IMUNOKOMPETENSI PADA PENDERITA KANKER

Oleh : Binarwan Halim, M. Fauzie Sahil

 

Cermin Dunia Kedokteran No. 132, 2001 47

 

 

Kelainan imunokompetensi terlihat pada penderita keganasan limforetikuler maupun tumor solid. Pada gangguan keganasan sel B seperti mieloma multipel dan leukemia

mielositik kronik dijumpai gangguan sel B poliklonal, defisiensi sel Th, kelebihan sel Ts dan penurunan rasio sel T4 : T8 pada tumor solid seperti Ca (Carcinoma) ovarium jarang

dijumpai kelainan sel B. Kelainan monosit dan sel T telah terlihat pada penderita karsinoma metastatik dan sarkoma, terutama stadium lanjut. Parahnya gangguan sel T bervariasi dari berbagai jenis tumor sesuai asalnya. Walaupun gangguan sistem imunitas lebih berat pada kasus lanjut dan pada pasien yang diperkirakan tumornya akan kambuh kembali, namun korelasinya tidak pasti untuk digunakan dalam penanganan klinis pasien

(2,3)

.

1) Imunokompetensi pada penderita kanker dengan pembedahan Depresi sel T dan B sementara terlihat pada kasus postoperatif. Gangguan imunitas maksimal terjadi selama

minggu pertama setelah pembedahan, biasanya fungsi sel T akan kembali normal 1 bulan. Lama dan intensitas imunosupresi berhubungan dengan jumlah trauma operasi, lama prosedur dan imunokompetensi sebelum operasi. Dari penelitian hewan ternyata bahwa prosedur pembedahan dan anestesia mempengaruhi sistem imun. Stress anestesia dan

pembedahan dapat merangsang pelepasan hormon termasuk glukokortikoid. Sel supresor juga dapat dirangsang, mungkin sebagai respons terhadap produk nekrosis jaringan

(2,3)

.

Pembuangan jaringan limforetikuler dapat mengganggu fungsi imun. Penelitian pada pasien kanker menunjukkan bahwa, splenektomi dapat mempermudah timbulnya sepsis

fulminan akibat bakteri. Peningkatan kerentanan terhadap infeksi ini berhubungan dengan umur, penyakit penyerta dan modalitas pengobatan kankernya. Tambahan radiasi kelenjar

getah bening dan kemoterapi akan menyebabkan gangguan lebih besar terhadap fungsi sel B. Beberapa peneliti bahkan menggunakan injeksi Penisilin profilaksis, vaksin

pneumokokus pada pasien post splenektomi sebelum diberi kemoterapi atau radioterapi. Kerentanan ini disebabkan oleh menurunnya kemampuan fagositosis dan gangguan

pembentukan antibodi dini. Namun splenektomi pada model hewan meningkatkan ketahanan terhadap pertumbuhan tumor, mungkin dengan gangguan terhadap produksi antibodi antitumor spesifik atau dengan menghilangkan sumber utama sel T supresor

(1,3)

.

2) Imunokompetensi pada penderita kanker dengan radioterapi Radiasi berpengaruh terhadap limfosit, sehingga akan mengalami kematian interfase dalam beberapa jam tanpa terjadinya mitosis. Sebelum rangsangan, antigen limfosit hanya menunjukkan kemampuan yang terbatas untuk memperbaiki kerusakan DNA akibat Radiasi. Setelah rangsangan antigen, sel plasma maupun sel reflektor menjadi lebih radioresisten.

Limfopenia terjadi bukan hanya akibat radiasi terhadap jaringan limfoid, tapi juga akibat destruksi limfosit pada daerah tepi. Level sel T dan B dapat berkurang, tergantung bagian

yang diradiasi. Walaupun terjadi penurunan kadar sel B, respons humoral biasanya tetap. Radiasi limfoid total dapat menyebabkan penurunan yang menetap pada kadar sel T.

Respons proliferatif sel T terhadap mitogen atau antigen histokompatibilitas dapat tertekan selama bertahun-tahun. Radiasi total badan dengan dosis besar dapat menyebabkan penurunan yang hebat dari seluruh sel limforetikuler, sel I CD

3, sel T CD 8, pada daerah tepi dalam 1-2 minggu, tapi untuk mencapai kembali rasio normal T4 : T8 perlu lebih dari setahun. Level monosit tidak menurun secara bermakna selama radioterapi dan kebanyakan makrofag resisten terhadap radiasi

(1,3,5)

.

3) Imunokompetensi pada penderita kanker dengan kemoterapi Kebanyakan sitostatika bersifat imunosupresif terkecuali Bleomisin dan Vincristin dalam dosis terapeutik. Kemoterapi intermiten biasanya kurang imunosupresif dibanding dengan

tipe kontinu. Fungsi sel T dan B dapat kembali di antara seri pengobatan walaupun gangguan menetap dapat terlihat setelah pengobatan yang lama atau bila kemoterapi dan radiasi digabung (1)

.

Glukokortikoid mempengaruhi fungsi dan resirkulasi pada darah tepi, level limfosit lebih dipengaruhi dibanding monosit. Level sel T lebih dipengaruhi dibanding sel B dan sel T CD 4 lebih terpengaruh dibanding sel T CD 8. Pada kemoterapi dosis tinggi Glukokortikoid dapat menghambat setiap fungsi sel limforetikuler, namun faktor inhibisi makrofag tetap dihasilkan. Induksi sel supresor dapat dihambat glukokortikoid tapi sekali

terpapar biasanya sel supresor akan relatif resisten terhadap steroid. Sel NK sensitif terhadap glukokortikoid, namun sel K resisten. Kemampuan respon makrofag dan monosit terhadap mediator terhambat jelas. Kemampuan fagositosis monosit

dipertahankan sedangkan fungsi bakterisidalnya dihambat(1,12)

.

Siklosfosfamid mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap sel B dibanding sel T, dalam dosis rendah menghambat sel supresor dan meningkatkan efek sel T CD 8 daripada sel T CD 4, pada dosis lebih tinggi sel T CD 8 dan sel T CD 4 menurun(13)

.

Efek imunosupresif bahan pangalkil dan antimetabolit berhubungan sebagian dengan toksisitas terhadap sel yang berproliferasi. Bahan pengalkil seperti siklofosfamid dapat

menekan produksi antibodi, sedangkan antimetabolit seperti 5 Fluorourasil, 6 Merkaptopurin dan Sitarabin, Metotreksat akan efektif setelah pemberian antigen dan bila sel B sedang berproliferasi. Bila sel telah berhenti berproliferasi dan limfosit sudah matur maka respons seluler maupun humoral menjadi resisten terhadap agen sitotoksik.(10)

 

Kepustakaan :

1. Bast CR. Principles of Cancer Biology : Tumor Immunology. Dalam : Devita VT, Rosenberg SA, Hellman W. eds. Cancer Principles and Practice of Oncology, Ed V, Philadelphia : Lippincett-Reven, 1997; 267-83.

2. Disaia PJ, Creasman WT, Tumor Immunology, Host Defense Mechanism and Biologic Therapy. Dalam : Disaia JP. Creasman WT. Eds. Clinical Gynecology Oncology, Ed IV, Philadelphia L: Mosby 1997; 534-75.

3. Bast RC, Bookman MA, Knapp RC, Gynecology Tumor Immunology. Dalam Knapp RC, Bast RC, Bookman MA, eds. Gynecology Oncology. Singapore : Mc Graw Hill, Inc, 1993; 56-82

10. Miller FR, Kataoka T. Interaction on Antimetabolites with Tumor and the Immune System. Dalam : Mihich E, ed. Biological Response in Cancer, Vol 3. mmunomodulation by Anticancer Grugs. New York : Plenum Press, 1986; 71-9.

13. Ozer H. Effects of Ankylating Agent on Immune Regulatory Mechanism. Dalam : Mihich E, ed. Biological Response in Cancer vol 3, Immunomodulation by Anticancer Drugs. New York : Plenum Press, 1986; 33-59

Technorati Tags: , , , ,

Peranan sistem imun humoral terhadap sel kanker

Oleh : Binarwan Halim, M. Fauzie Sahil

 

Cermin Dunia Kedokteran No. 132, 2001 47

 

Imunitas humoral lebih sedikit berperan daripada imunitas seluler dalam proses penghancuran sel kanker, tetapi tubuh tetap membentuk antibodi terhadap antigen tumor.

Dua mekanisme antibodi diketahui dapat menghancurkan target kanker yaitu :

a)Antibody dependent cell mediated cytotoxicity (ADCC) Pada ADCC antibodi IgG spesifik berikatan terhadap Tumor Associated Antigen (TAA) dan sel efektor yang

membawa reseptor untuk bagian Fc dari molekul Ig. Antibodi bertindak sebagai jembatan antara efektor dan target. Antibodi yang terikat dapat merangsang pelepasan superoksida atau peroksida dari sel efektor. Sel yang dapat bertindak sebagai efektor di sini adalah limfosit null (sel K), monosit, makrofag, Lekosit PMN (polimorfonuklear) dan fragmen trombosit. Ini akan mengalami lisis optimal dalam 4 sampai 6 jam(1,2)

.

b) Complement Dependent Cytotoxicity

Di sini pengikatan antibodi ke permukaan sel tumor menyebabkan rangkaian peristiwa komplemen klasik dari C’ 1,4,2,3,5,6,7,8,9. Komponen C’ akhir menciptakan saluran atau

kebocoran pada permukaan sel tumor. IgM lebih efisien dibanding IgM dalam merangsang proses complement dependent citotoxicity

(3,4)

 

Kepustakaan

 

1. Bast CR. Principles of Cancer Biology : Tumor Immunology. Dalam : Devita VT, Rosenberg SA, Hellman W. eds. Cancer Principles and Practice of Oncology, Ed V, Philadelphia : Lippincett-Reven, 1997; 267-83.

2. Disaia PJ, Creasman WT, Tumor Immunology, Host Defense Mechanism and Biologic Therapy. Dalam : Disaia JP. Creasman WT. Eds. Clinical Gynecology Oncology, Ed IV, Philadelphia L: Mosby 1997; 534-75.

3. Bast RC, Bookman MA, Knapp RC, Gynecology Tumor Immunology. Dalam Knapp RC, Bast RC, Bookman MA, eds. Gynecology Oncology. Singapore : Mc Graw Hill, Inc, 1993; 56-82.

4. Houskin WJ, Burke TW, Barnhill DR, Tumor Related Antigens in Gynecology Cancers. Dalam Ghosh BC, Ghosh L, eds. Tumor Company, Singapore 1987; 149-69.

 

Technorati Tags: , , , ,

Peranan sistem imun seluler sel kanker

Oleh : Binarwan Halim, M. Fauzie Sahil

 

Cermin Dunia Kedokteran No. 132, 2001 47

Pada pemeriksaan patologi-anatomik tumor, sering ditemukan infiltrat sel-sel yang terdiri atas sel fagosit mononuklear, limfosit, sedikit sel plasma dan sel mastosit. Meskipun pada beberapa neoplasma, infiltrasi sel mononuklear merupakan indikator untuk prognosis yang baik, pada umumnya tidak ada hubungan antara infiltrasi sel dengan prognosis. Sistem imun yang nonspesifik dapat langsung menghancurkan sel tumor tanpa sensitisasi sebelumnya. Efektor sistem imun tersebut adalah sel Tc, fagosit mononuklear, polinuklear, Sel NK.(3,5). Aktivasi sel T melibatkan sel Th dan Tc. Sel Th penting pada pengerahan dan aktivasi makrofag dan sel NK.

a) Sitotoksitas melalui sel T

Kontak langsung antara sel target dan limfosit T menyebabkan interaksi antara reseptor spesifik pada permukaan sel T dengan antigen membran sel target yang mencetuskan induksi kerusakan membran yang bersifat lethal. Peningkatan kadar cyclic Adenosine Monophosphate (cAMP) dalam sel T dapat menghambat sitotoksisitas dan efek inhibisi

Prostaglandin (PG) E 1 dan PGE2 terhadap sitotoksisitas mungkin diperantarai cAMP. Mekanisme penghancuran sel tumor yang pasti masih belum diketahui walaupun pengrusakan membran sel target dengan hilangnya integritas osmotik merupakan peristiwa akhir. Pelepasan Limfotoksin (LT), interaksi membran-membran langsung dan aktifitas T cell associated enzyme seperti phospholipase diperkirakan merupakan penyebab rusaknya membran(1,6)

.

Interleukin (IL), interferon (IFN) dan sel T mengaktifkan pul asel Natural Killer (NK). Sel ini berbentuk large granulocytic lymphocyte (LGL). Kebanyakan sel ini mengandung reseptor Fc dan banyak yang mengekspresikan antigen sel T. Lisis sel target dapat terjadi tanpa paparan pendahuluan dan target dapat dibunuh langsung. Sel NK menunjukkan beberapa spesifisitas yang lebih luas terhadap target tumor yang biasanya dibunuh lebih cepat dibanding sel normal(1,2)

Kematian sel tumor dapat sebagai akibat paparan terhadap toxin yang terdapat dalam granula LGL, produksi superoksida atau aktivitas protease serine pada permukaan sel

efektor. Sel NK diaktivasi IFN dan II-2 in vitro. Aktivitas NK dapat dirangsang secara in vitro dengan pemberian IFN, inducer atau imunostimulan seperti Bacille Calmette Guerin

(BCG) dan Corynebacterium (C) parvum. Penghambatan aktivasi sel NK terlihat pada beberapa PG (PGE1, PGE2, PGA1 dan PGA2), phorbol ester, glukokortikoid dan

siklofosfamid. Pada banyak kasus, agen ini langsung mempengaruhi aktivitas NK, sel supresor juga dapat mempengaruhi sel NK. Sel NC (Natural Cytotoxic) juga

teridentifikasi menghancurkan sel tumor. Berbeda dengan sel NK, sel NC kelihatannya distimulasi oleh IL-3 dan relatif tahan terhadap glukokortikoid dan siklofosfamid. Populasi LAK (lymphocyte activated killer) cell dapat tumbuh di bawah pengaruh IL-2 (7,8)

.

b) Sitotoksisitas melalui makrofag

Makrofag yang teraktivasi berikatan dengan sel neoplastik lebih cepat dibanding dengan sel normal. Pengikatan khusus makrofag yang teraktivasi ke membran sel tumor adalah

melalui struktur yang sensitif terhadap tripsin. Pengikatan akan bertambah kuat dan erat dalam 1 sampai 3 jam dan ikatan ini akan mematikan sel. Sekali pengikatan terjadi, mekanisme sitotoksisitas melalui makrofag berlanjut dengan transfer enzim

lisosim, superoksida, protease, faktor sitotoksis yang resisten terhadap inhibitor protease dan yang menyerupai LT(1,3)

Sekali teraktivasi, makrofag dapat menghasilkan PG yang dapat membatasi aktivasinya sendiri. Makrofag yang teraktivasi dapat menekan proliferasi limfosit, aktivitas NK dan produksi mediator. Aktivasi supresi dapat berhubungan dengan pelepasan PG atau produksi superoksida. Sebagai tambahan, makrofag dapat merangsang dan juga menghambat pertumbuhan sel tumor, yang bergantung dengan bagian yang rentan dari sel tumor, ratio makrofag dengan sel target dan status fungsional makrofag. Indometasin dapat menghambat efek perangsangan makrofag pada pertumbuhan tumor ovarium

yang diperkirakan prostaglandin mungkin berperan sebagai mediatornya (2)

Macrophage derived factor dapat merangsang pertumbuhan tumor dan menekan imunitas sel T. Akumulasi makrofag dalam tumor mungkin menggambarkan interaksi makrofag kompleks dari beberapa faktor dan juga kinetik produksi monosit oleh sumsum tulang. Jadi status fungsional makrofag dalam tumor juga berperan selain jumlahnya (5,9)

 

Makrofag bila diaktifkan oleh limfokin, endotoksin, RNA dan IFN akan menunjukkan aktivasi berupa adanya perubahan morfologik, biokimiawi dan fungsi sel. Makrofag yang

diaktifkan biasanya menjadi sitotoksik nonspesifik terhadap sel tumor in vitro. Makrofag dapat pula berfungsi sebagai efektor pada ADCC terhadap tumor. Di samping itu makrofag dapat menimbulkan efek negatif berupa supresi yang disebut makrofag supresor. Hal tersebut dapat disebabkan oleh tumor itu sendiri atau akibat pengobatan (2,10)

 

Kepustakaan

1. Bast CR. Principles of Cancer Biology : Tumor Immunology. Dalam : Devita VT, Rosenberg SA, Hellman W. eds. Cancer Principles and Practice of Oncology, Ed V, Philadelphia : Lippincett-Reven, 1997; 267-83.

2. Disaia PJ, Creasman WT, Tumor Immunology, Host Defense Mechanism and Biologic Therapy. Dalam : Disaia JP. Creasman WT. Eds. Clinical Gynecology Oncology, Ed IV, Philadelphia L: Mosby 1997; 534-75.

3. Bast RC, Bookman MA, Knapp RC, Gynecology Tumor Immunology. Dalam Knapp RC, Bast RC, Bookman MA, eds. Gynecology Oncology. Singapore : Mc Graw Hill, Inc, 1993; 56-82

5. Haynes FB, Fauci AS. Disorders of the Immune System. Dalam : Fauci AS, raunwald E, Isselbacher KJ, eds. Harrison’s Principles of Internal Medicine, Ed XIV, New York : Mc Graw Hill, 1998; 1753-76.

9. Mitchell MS. Principles of Immunology and Immunotherapy. Dalam :Morrow CP, Curtin JP, Townsend DE, eds. Synopsis of Gynecologic Oncology. New York : Churchil Livingstone, 1993; 497-507.

Technorati Tags: , , , ,