Autisme
Autisme merupakan gangguan perkembangan fungsi otak yang mencakup
bidang sosial dan fungsi afek, komunikasi verbal (bahasa) dan non
verbal, imajinasi, fleksibilitas, lingkup interest (minat), kognisi dan
atensi (Lumbantobing,2001). Dewasa ini terdapat kecenderungan
peningkatan kasus-kasus autisme pada anak (autisme infantile) yang
datang pada praktek neurologi dan praktek dokter lainnya. Umumnya
keluhan utama yang disampaikan oleh orang tua adalah keterlambatan
bicara, perilaku aneh dan acuh tak acuh, atau cemas apakah anaknya
tuli. Autisme sendiri sesungguhnya suatu istilah yang digunakan untuk
menggambarkan jenis gangguan perkembangan pervasive yang ditandai
dengan hubungan hendaya timbal balik sosial, penyimpangan komunikasi,
pola perilaku yang terbatas dan stereotipik. Fungsi abnormal ini sudah
harus nampak pada umur 3 tahun. Lebih dari dua pertiga penderita
gangguan autisme menderita retardasi mental, tetapi hal ini tidak
mutlak diperlukan untuk menegakkan diagnosis (Newson dkk,1998).
beberapa kali penelitian yang telah dilakukan, ternyata diduga bahwa
penyebab utama autisme adalah gangguan perkembangan pada bagian otak
tertentu yaitu amigdala, hipokampus, serebelum dan lobus temporalis.
Tingkat kerusakan otak akibat gangguan perkembangan tersebut akan
memberikan efek pada individu sesuai dengan derajat kerusakan otak itu
sendiri. Efek yang timbul akan sangat mempengaruhi sekali terhadap
tingkah laku individu dan pembentukan tingkah laku itu (Hartono,1998).
Autisme
termasuk kasus yang jarang, biasanya identifikasinya melalui
pemeriksaan yang teliti di rumah sakit, dokter atau sekolah khusus.
Prevalensi autisme didapatkan sekitar 2-5/10.000 anak di bawah umur 12
tahun. Jika dimasukkan retardasi mental berat ditambah dengan gangguan
autisme maka angkanya dapat mencapai 20/10.000 anak. Penelitian
epidemiologi di Amerika utara, Asia dan Eropa memperkirakan prevalensi
antara 2-13/10.000 anak (Rapin,2001; Lumbantobing,2001; Aeni dkk,2001)
Pada
umumnya gangguan autisme mulai sebelum 36 bulan, tetapi mungkin tidak
diperhatikan oleh orang tua, tergantung kewaspadaan orang tua dan
beratnya gangguan. Gangguan autisme lebih sering ditemukan pada anak
laki-laki di banding anak perempuan, yaitu 3-5 kali lebih sering.
Tetapi anak perempuan yang mengalami gangguan autisme cenderung lebih
berat dan mempunyai riwayat keluarga dengan gangguan kognitif di
banding anak laki-laki. Penelitian permulaan menemukan gangguan ini
lebih sering pada status sosio-ekonomi tinggi, namun hal ini mungkin
dipengaruhi oleh bias, karena dalam 25 tahun terakhir terdapat
peningkatan kasus pada kelompok sosio-ekonomi rendah. Penemuan ini
mungkin akibat bertambahnya kewaspadaan akan ganguan ini dan
bertambahnya fasilitas kesehatan untuk anak-anak miskin (Aeni dkk,2001).
Terapi
anak autisme membutuhkan identifikasi dini, intervensi edukasi yang
intensif, lingkungan yang struktur, atensi individual, staf yang
terlatih baik, dan peran serta orang tua sehingga melibatkan banyak
bidang, baik bidang kedokteran, pendidikan, psikologi maupun bidang
sosial. Dalam bidang kedokteran, untuk menangani masalah autisme dengan
pengobatan khususnya medika mentosa, di bidang pendidikan dapat
dilakukan dengan memberikan latihan pada orang tua penderita. Terapi
perkembangan dan perilaku dapat dilakukan dalam bidang psikologi,
sedangkan mendirikan yayasan autisme sebagai lembaga yang mampu secara
professional menangani masalah autisme adalah salah satu contoh yang
dilakukan dalam bidang sosial (Lumbantobing,2001).
Ada perbedaan
yang jelas antara penyebab dari autisme pada penderita schizophrenia
dan penyandang autisme infantil. Schizophrenia disebabkan oleh proses
regresi karena penyakit jiwa, sedangakan pada anak-anak penyandang
autisme infantil terdapat kegagalan perkembangan. Gejala autisme
infantil timbul sebelum anak mencapai usia 3 tahun. Pada sebagian anak
, gejala-gejala itu sudah ada sejak lahir. Seorang ibu yang sangat
cermat memantau perkembangan anaknya bisa melihat beberapa keganjilan
sebelum anaknya mencapai usia 1 tahun. Yang sangat menonjol adalah
tidak adanya atau sangat kurangnya tatap mata (www.Smartschool.com)
II.1 Pengertian
Autisme
adalah salah satu defisit perkembangan pervasif pada awal kehidupan
anak yang disebabkan oleh gangguan perkembangan otak yang ditandai
dengan ciri pokok yaitu terganggunya perkembangan interaksi sosial,
bahasa dan wicara, serta munculnya perilaku yang bersifat repetitif,
stereotipik dan obsesif (Budiman,1997).
Autisme adalah gangguan
perkembangan pervasif yang ditandai oleh adanya kelainan atau hendaya
perkembangan yang muncul sebelum usia 3 tahun, dan dengan ciri kelainan
fungsi dalam tiga bidang interaksi sosial, komunikasi dan perilaku yang
terbatas dan berulang (Aeni dkk,2001).
Autisme adalah gangguan
perkembangan khususnya terjadi pada masa anak-anak, yang membuat
seseorang tidak mampu mengadakan interaksi sosial dan seolah-olah hidup
dalam dunianya sendiri (IQ-EQ,2001).
Autisme adalah suatu gangguan
perkembangan yang komplek, yang biasanya muncul pada usia 1-3 tahun.
Tanda-tanda autisme biasanya muncul pada tahun pertama dan selalu
sebelum berusia 3 tahun. Autisme 2-4 kali lebih sering ditemukan pada
anak laki-laki (www.medicastore.com).
II.2 Etiologi
Penyebab
yang pasti dari autisme tidak diketahui, yang pasti hal ini bukan
disebabkan oleh pola asuh yang salah. Penelitian terbaru
menitikberatkan pada kelainan biologis dan neurologis di otak termasuk
ketidakseimbangan biokimia, faktor genetik dan gangguan kekebalan.
Beberapa kasus mungkin berhubungan dengan infeksi virus (rubella
congenital atau cytomegalic inclusion disease), fenilketonuria (suatu
kekurangan enzim yang sifatnya diturunkan) dan sindroma X yang rapuh
(kesalahan kromosom). (www.medicastore.com)
Sedangkan menurut www.
smartschool.com, penyebab utama dari autisme belum diketahui dengan
pasti autisme diduga disebabkan oleh gangguan neurobiologis pada
susunan syaraf pusat meliputi faktor genetik, gangguan pertumbuhan sel
otak pada janin, gangguan pencernaan, keracunan logam berat dan
gangguan auto-imun.
Menurut Lumbantobing (2000), penyebab dari autisme dapat dipengaruhi oleh :
1.Faktor keluarga dan psikodinamik
Mulanya diperkirakan gangguan ini akibat kurangnya perhatian orang tua,
tetapi penelitian terakhir tidak menemukan adanya perbedaan dalam
membesarkan anak pada orang tua anak normal dari orang tua anak yang
mengalami gangguan ini. Namun beberapa anak autisme berespon terhadap
stressor psikososial seperti lahirnya saudara kandung atau pindah
tempat tinggal berupa eksaserbasi gejala.
2.Kelainan organo-biologi-neurologi
Berhubungan dengan lesi neurologi, rubella kongenital, cytomegalovirus,
ensefalitis, meningitis, fenilketonuria, tuberous sclerosis, epilepsi
dan fragilee X syndrome.
Penelitian neuroanatomi menunjukkan bahwa
autisme akibat berhentinya perkembangan dari cerebellum, cerebrum dan
sistem limbik. Pada MRI ditemukan hipoplasi vermis cerebellum lobus VI
dan VII (Courchesne,1991). Pada sekitar 10-30% anak dengan autisme
dapat diidentifikasi faktor penyebabnya (Lumbantobing,2001).
3.Faktor genetik
Pada survey gangguan autisme ditemukan 2-4% saudara kandung juga
menderita gangguan autisme. Pada kembar monozygot angka tersebut
mencapai 90% sedang akan kembar dizigot 0% (Lumbantobing,2001)
4.Faktor imunologi
Terdapat beberapa bukti mengenai inkompatibilitas antara ibu dan fetus,
dimana limfosit fetus bereaksi terhadap antibodi ibu, sehingga
kemungkinan menyebabkan kerusakan jaringan syaraf embrional selama masa
gestasi.
5.Faktor perinatal
Tingginya penggunaan obat pada selama kehamilan, respiratory disstres syndrome, anemia neonatus
6.Penemuan biokimia
Pada sepertiga dari penderita autisme ditemukan peninggian serotonin
plasma. Selain itu terdapat peninggian asam homovanilik pada cairan
liquor cerebrospinal.
II.3 Gejala-gejala pada Anak Autisme
Gejala
pada anak autisme sudah tampak sebelum anak berusia 3 tahun, yaitu
antara lain dengan tidak adanya kontak mata, dan tidak menunjukkan
responsif terhadap lingkungan. Jika kemudian tidak diadakan upaya
terapi, maka setelah usia 3 tahun perkembangan anak terhenti atau
mundur, seperti tidak mengenal suara orang tuanya dan tidak mengenali
namanya. (www.peduliautisme.com)
Sedang menurut http://www.medicastore.com, penderita autisme klasik memiliki 3 gejala yaitu
Gangguan interaksi sosial
Hambatan dalam komunikasi verbal dan non verbal
Kegiatan dan minat yang aneh atau sangat terbatas.
Sifat-sifat lainnya yang biasa ditemukan pada anak autisme adalah
Sulit bergabung dengan anak-anak yang lain
Tertawa atau cekikikantidak pada tempatnya
Menghindari kontak mata atau hanya sedikit melakukan kontak mata
Menunjukkan ketidakpekaan terhadap nyeri
Lebih senang menyendiri, menarik diri dari pergaulan
Tidak membentuk hubungan pribadi yang terbuka
Jarang memainkan permainan khayalan
Memutar benda, terpaku pada benda tertentu
Sangat tergantung kepada benda yang sudah dikenalnya dengan baik, secara fisik terlalu aktif atau sama sekali kurang aktif
Tidak memberikan respon terhadap cara pengajaran yang normal,
Tertarik pada hal-hal yang serupa, tidak mau menerima atau mengalami perubahan
Tidak takut akan bahaya
Terpaku pada permainan yang ganjil
Ekolalia (mengulang kata-kata atau suku kata)
Tidak mau dipeluk
Tidak memberikan respon terhadap kata-kata, bersikap seolah-olah tuli
Mengalami
kesulitan dalam mengungkapkan kebutuhannya melalui kata-kata, lebih
senang meminta melalui isyarat tangan atau menunjuk
Jengkel atau kesal membabi buta
Melakukan gerakan atau ritual tertentu secara berulang-ulang
Anak
autis mengalami keterlambatan bicara, mungkin menggunakan bahasa dengan
cara yang aneh atau tidak mampu bahkan tidak mau berbicara sama jika
seseorang berbicara dengannya, dia akan sulit memahami apa yang
dikatakan kepadanya. Anak autis tidak mau menggunakan kata ganti yang
normal (terutama menyebut dirinya sebagai kamu, bukan sebagai saya)
Pada beberapa kasus mungkin ditemukan perilaku agresif atau melukai diri sendiri
Kemampuan motorik kasar/halusnya ganjil (tidak ingin menendang bola tetapi dapat menyusun balok)
Gejala-gejala
tersebut bervariasi, bisa ringan maupun berat, selain itu perilaku
autisme biasanya berlawanan dengan berbagai keadaan yang terjadi dan
tidak sesuai dengan usianya.
II.4 Kriteria diagnostik
Untuk
memeriksa apakah seorang anak menderita autisme atau tidak, digunakan
standar international tentang autisme. ICD-10 (International
Classification of Diseases) 1993 dan DSM-IV (Diagnostic and Statistical
Manual) 1994 merumuskan kriteria diagnosis untuk autisme Infantil yang
isinya sama, yang saat ini dipakai di seluruh dunia. Kriteria tersebut
adalah : Harus ada sedikitnya gejala dari (1), (2) dan (3) seperti di
bawah ini, dengan minimal 2 gejala dari (1) dan masing-masing 1 gejala
dari (2) dan (3).
1.Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik
Minimal harus ada 2 dari gejala di bawah ini :
a.
Tak mampu menjalin interaksi sosial yang cukup memadai : kontak mata
sangat kurang, ekspresi muka kurang hidup, gerak gerik kurang tertuju,
apabila dipanggil tidak menengok
Perilaku anak autistik sering
menunjukkan emosi yang tidak sesuai. Beberapa anak menjerit atau
tertawa dengan sedikit atau tanpa provokasi, tetapi dapat pula terlihat
gejala perilaku lain seperti hiperkinesis yang sering berganti-ganti
dengan hiperaktifitas, agresifitas dan temperamen perilaku melukai diri
sendiri seperti mencakar, menggigit dan menarik rambut (Kaplan &
Sadock dkk,1994).
Penderita austistik hampir tidak menunjukkan
perilaku emosional, yang terlihat hanya duduk dan memandang ke ruang
kosong (Sutadi,1997; Newson, 1998). Mereka tidak menunjukkan rasa
kecewa atau tidak senang bila berpisah dengan orang tuanya atau tidak
gembira bila orang tua mereka datang kembali kedekatnya, hal ini
dikarenakan terdapatnya gangguan kedekatan (attachment).
b. Tidak bisa bermain dengan teman sebaya, senang menyendiri
Yang
dimaksud adalah kegagalan untuk mengembangkan hubungan dengan teman
sebaya yang sesuai menurut tingkat perkembangannya (Kaplan & Sadock
dkk,1994). Secara fisik mereka akan menjaga jarak dengan teman lain,
tidak pernah memulai dan hanya sedikit berespon terhadap interaksi
sosial. Fungsi luhur penyandang akustik dewasa muda cenderung
memperlihatkan kurang kooperatif di dalam kelompoknya bermain
(Newson,1998)
c. Kurangnya hubungan timbal balik sosial dan emosional
Yang
dimaksud dengan istilah hubungan sosial yang timbal balik adalah
kapasitas yang dinamis untuk mempertahankan interaksi yang cocok.
Hubungan sosial yang timbal balik bukanlah ketrampilan tunggal tetapi
lebih pada hasil dari gabungan ketrampilan, hanya beberapa yang sudah
diketahui. Interaksi verbal merupakan hal yang dimaksud dengan hubungan
emosional yang timbal balik yaitu kondisi yang menunjukkan keakraban
yang lazimnya terhadap orang tua mereka dan orang lain, pada penderita
austistik gagal menjalani hubungan ini. Kegagalan dalam membuat
persahabatan, kejanggalan dan ketidaksesuaian sosial terutama kegagalan
untuk mengembangkan empati. Pada masa remaja akhir, orang austik
tersebut yang paling berkembang seringkali memiliki keinginan untuk
bersahabat, tetapi kecanggungan pendekatan mereka dan ketidakmampuan
utuk berespon terhadap minat, emosi dan perasaan orang lain adalah
hambatan yang utama dalam mengembangkan persahabatn. Kesulitan ini
dideskripsikan sebagai kegagalan dalam hubungan timbal balik dan
memberikan disorganisasi yang sifat dan perkembangan yang tidak
seimbang dari ketrampilan sosial.
d. Tidak dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain
Yang
dimaksud adalah tidak adanya keinginan spontan untuk berbagi rasa,
kesenangan minat atau pencapaian dengan orang lain, misalnya tidak
memamerkan, membawa atau menunjukkan benda yang menarik minat.
penderita austistik juga mengalami kegagalan mengenali perasan orang
lain. Anak austik tidak dapat menggunakan ketrampilannya dengan efektif
karena tidak mampu menunjukkan dan memperlihatkan sesuatu hal yang
dimaksud. Anak austistik seringkali menggunakan isyarat, meraba dan
mengambil barang bukan dengan jarinya tapi menganggap orang lain
sebagai benda misalnya dengan memegang tangan orang itu dan menempatkan
pada suatu barang yang diinginkan. Setelah tujuan tercapai, anak
austistik kurang mampu untuk melanjutkan pada aktifitas lain, tetapi
biasanya mengulang kembali aktifitas yang semula.
e. Kurangnya kemampuan untuk bisa membagi kegembiraan dan kesenangan pada orang lain.
2. Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi
Minimal harus ada1 dari gejala di bawah ini :
a. Perkembangan bicara terlambat atau sama sekali tidak berkembang. Anak tidak berusaha untuk berkomunikasi secara non-verbal.
b.Bila anak bisa bicara, maka bicaranya tidak dipakai untuk berkomunikasi
c. Sering menggunakan bahasa yang aneh dan diulang-ulang
d. Cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif dan kurang dapat meniru
3. Adanya suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dalam perilaku, minat, dan kegiatan
a. Mempertahankan satu minat atau lebih dengan cara yang khas dan berlebihan
b. Terpaku pada suatu kegiatan yang ritualistik atau rutinitas yang tidak ada gunanya
c. Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan diulang-ulang
d. Seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian benda (IQ-EQ,2001)
4. Adanya gangguan emosi
a. Tertawa, menangis, marah-marah tanpa sebab
b.Emosi tidak terkendali
c. Rasa takut yang tidak wajar
5. Adanya gangguan persepsi sensorik
a. Menjilat-jilat dan mencium-cuim benda
b. Menutup telinga bila mendengar suara keras dengan nada tertentu
c. Tidak suka memakai baju dengan bahan yang kasar
d. Sangat tahan terhadap sakit
Sebelum
umur 3 tahun tampak adanya keterlambatan atau gangguan dalam bidang (1)
interaksi sosial, (2) bicara dan berbahasa, dan (3) cara bermain yang
monoton, kurang variatif. Bukan disebabkan oleh gangguan disintegrasi
masa kanak, namun kemungkinan kesalahan diagnosis selalu ada, terutama
pada autisme ringan. Hal ini iasanya disebabkan karena adanya gangguan
atau penyakit lain yang menyertai gangguan autis yang ada, seperti
retardasi mental yang berat atau hiperaktifitas. Autisme memiliki
kemungkinan untuk dapat disembuhkan , tergantung dari berat tidaknya
gangguan yang ada. (www.smartschool.com).
II.5 Diagnosis autisme pada anak
Autisme
tidak dapat langsung diketahui pada saat anak lahir atau pada skrining
prenatal (tes penyaringan yang dilakukan ketika anak masih berada dalam
kandungan). Tidak ada tes medis untuk mendiagnosis autisme. Suatu
diagnosis yang akurat harus berdasarkan kepada hasil pengamatan
terhadap kemampuan berkomunikasi, perilaku dan tingkat perkembangan
anak. Karakteristik dari kelainan ini beragam, maka sebaiknya anak
dievaluasi oleh tim multidisipliner yang terdiri dari ahli syaraf,
psikolog anak-anak, ahli perkembangan anak-anak, terapis bahasa dan
ahli lainnya yang berpengalaman di bidang autisme. Pengamatan singkat
dalam satu kali pertemuan tidak dapat menampilkan gambaran kemampuan
dan perilaku anak. Masukan dari orang tua dan riwayat perkembangan anak
merupakan komponen yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis yang
akurat (www.medicastore.com)
II.6 Penatalaksanaan autisme pada anak
Orang
tua memainkan peran yang sangat penting dalam membantu perkembangan
anak. Seperti anak-anak yang lainnya, anak autis terutama belajar
melalui permainan, bergabunglah dengan anak ketika dia sedang bermain,
tariklah anak dari ritualnya yang sering diulang-ulang, dan tuntunlah
mereka menuju kegiatan yang lebih beragam. Misalnya orang tua mengajak
anak mengitari kamarnya kemudian tuntun mereka ke ruang yang lain.
Orang tua perlu memasuki dunia mereka untuk membantu mereka masuk ke
dunia luar.
Kata-kata pujian karena telah menyelesaikan tugasnya
dengan baik, kadang tidak berarti apa-apa bagi anak autis. Temukan cara
lain untuk mendorong perilaku baik dan untuk mengangkat harga dirinya.
Misalnya berikan waktu lebih untuk bermain dengan mainan kesukaannya
jika anak telah menyelesaikan tugasnya dengan baik.
Anak autis
belajar lebih baik jika informasi disampaikan secara visual (melalui
gambar) dan verbal (melalui kata-kata). Masukkan komunikasi
augmentative dalam kegiatan rutin sehari-hari dengan menggabungkan
kata-kata dan foto-foto, lambang atau isyarat tangan untuk membantu
anak mengutarakan kebutuhan, perasaan dan gagasannya.
Tujuan dari
pengobatan adalah membuat anak autis berbicara tetapi sebagian anak
autis tidak dapat bermain dengan baik, padahal anak-anak mempelajari
kata baru dalam permainan, sebaiknya orang tua tetap berbicara kepada
anak autis sambil menggunakan semua alat komunikasi dengan mereka,
apakah berupa isyarat tangan, gambar, foto, tangan, bahasa tubuh
manusia maupun tehnologi. Jadwal kegiatan sehari-hari, makanan dan
aktifitas favorit serta temen dan anggota keluarga lainnya bisa menjadi
bagian dari system gambar dan membantu anak untuk berkomunikasi dengan
dunia di sekitarnya. (www.medicastore.com).
1.Intensitas penatalaksanaan
Intensitas penatalaksanaan harus dipertimbangkan pada beberapa level,
termasuk durasi (yaitu beberapa jam per minggu, atau beberapa bulan per
tahun) dan rasio pegawai yang tersedia. Berkenaan dengan durasi
program, ada beberapa penelitian untuk mendukung fakta bahwa hasil yang
diperoleh anak-anak penderita autis cenderung berhubungan secara
positif dengan jumlah jam dari terapi yang mereka terima setiap
minggu.Anak-anak dengan autisme memerlukan metode pengajaran yang
intensif, yaitu diberikan secara baik ketika siswa mempunyai seorang
guru yang perhatiannya tidak terbagi. Seperti kemajuan siswa, sering
perhatian terbaik merekaada suatu rasio yang sebanding dengan yang
diberikan dalam lingkungan pendidikan selanjutnya. (Giangreco dkk,1997).
2.Penatalaksanaan menyeluruh
2.1Terapi Psikofarmaka
Kerusakan
sel otak di sistem limbik, yaitu pusat emosi akan menimbulkan gangguan
emosi dan perilaku temper tantrum, agresifitas, baik terhadap diri
sendiri maupun pada orang-orang disekitarnya, serta hiperaktifitas dan
stereotipik. Untuk mengendalikan gangguan emosi ini diperlukan obat
yang mempengaruhi berfungsinya sel-sel otak. Obat-obat yang digunakan
antara lain :
a.Haloperidol
Suatu obat antipsikotik yang
mempunyai efek meredam psikomotor, biasanya digunakan pada anak
yangmenampakkan perilaku temper tantrum yang tidak terkendali serta
mempunyai efek lain yaitu meningkatkan proses belajar biasanya
digunakan dalam dosis 0,20 mg (Campbell dkk,1983)
b.Fenfluramin
Suatu obat yang mempunyai efek mengurangi kadar serotonin darah yang bermanfaat pada beberapa anak autisme (Levanthal dkk,1993).
c.Naltrexone
Merupakan
obat antagonis opiat yang diharapkan dapat menghambat opioid endogen
sehingga mengurangi gejala autisme seperti mengurangi cedera pada diri
sendiri dan mengurangi hiperaktifitas (Lensing dkk,1995).
d.Clompramin
Merupakan
obat yang berguna untuk mengurangi stereotipik, konvulsi, perilaku
ritual dan agresifitas, biasanya digunakan dalam dosis 3,75 mg
(Campbell dkk,1996)
e.Lithium
Merupakan obat yang dapat digunakan untukmengurangi perilaku agresif dan mencederai diri sendiri (Lumbantobing,2001)
f.Ritalin
Untuk menekan hiperaktifitas (Lumbantobing,2001)
g.Risperidon
Dengan dosis 2 x 0,1 mg telah dapat mengendalikan perilaku dan konvulsi.
Oleh
karena efektifitas obat berbeda-beda antara anak satu dengan lainnya,
maka pemakaian obat harus diawasi oleh dokter. Pemeriksaan yang lengkap
perlu dilakukan setiap 6 bulan. Pemberian obat hanya sebagai penunjang
dari keseluruhan penatalaksanaan autisme.
2.2Terapi Perilaku
Dalam
tatalaksana gangguan autisme, terapi perilaku merupakan tatalaksana
yang paling penting. Metode yang digunakan adalah metode Lovass. Metode
Lovass adalah metode modifikasi tingkah laku yang disebut dengan
Applied Behavioral Analysis (ABA). ABA juga sering disebut sebagai
Behavioral Intervension atau Behavioral Modification. Dasar
pemikirannya, perilaku yang diinginkan maupun yang tidak diinginkan
bisa dikontrol atau dibentuk dengan system reward dan punishment.
Pemberian reward akan meningkatkan frekuensi munculnya perilaku yang
diinginkan, sedangkan punishment akan menurunkan frekuensi munculnya
perilaku yang tidak diinginkan (Nakita,2002)
a.Prinsip dasar ABA (Applied Behavioral Analysis)
Dasar
metode ABA adalah semua tingkah laku dipelajari. Baik yang sederhana,
seperti kontak mata atau duduk, sampai yang kompleks, misalnya
interaksi sosial dan kemampuan memahami sudut pandang orang lain.
Tingkah laku kompleks ini dapat dipelajari dengan memecah menjadi
komponen-komponen atau kemampuan-kemampuan persyarat yang lebih
sederhana, yang kemudian diajarkan ke anak. Untuk membantu anak
belajar, harus diketahui hal apa saja yang dapat meningkatkan
kemungkinan anak untuk menunjukkan respon seperti yang diinginkan yang
dikenal dengan sebutan reinforcer (penguat). Reinforce positif akan
meningkatkan kemungkinan munculnya tingkah laku yang diinginkan
(desirable behavioral). Sebaliknya, reinforcer negative meningkatkan
kemungkinan tidak munculnya tingkah laku yang tidak diinginkan
(undesirable behavioral). Reinforcer positif berupa akses ke barang
atau hal-hal yang disukai anak, sedangakan reinforcer negative adalah
penghilangan hal-hal yang menyenangkan dari didi anak (Lovass dkk,1987;
Nakita,2001).
b.Tujuan ABA (Applied Behavioral Analysis)
Membuat kegiatan belajar menjadi aktivitas yang menyenangkan bagi anak
Mengajarkan
kepada anak agar mampu membedakan atau mendiskriminasikan
stimulus-stimulus yang berbeda. Tanpa kemampuan ini, anak tidak sanggup
merespon secara tepat.
c.Metode pengajaran ABA
Metode pengajaran
yang digunakan adalah DDT (Discrete Trial Training) yaitu metode yang
berstruktur menuruti pola tertentu dan bisa ditentukan awal dan
akhirnya. DDT terdiri dari instruktur, prompt, respon, konsekuensi dan
interval waktu antara instruksi yang satu dengan instruksi yang lain.
Instruksi
: Harus diberikan setelah anak memberi perhatian. Latihan dasar adalah
latihan kontak mata. Instruksi pada awalnya harus diberikan tepat sama,
baik kata-kata maupun intonasi, agar anak mudah mengerti. Instruksi
yang baik adalah yang jelas pengucapannya, sedikit kata dan dalam nada
netral atau datar.
Prompt : Dimaksudkan agar anak dapat mengetahui respon yang diharapkan darinya.
Konsekuen
: Yang dimaksud konsekuen adalah apa yang diterima anak setelah
berespon. Kalau respon anak tepat, maka anak akan mendapat reinforcer
yang akan meningkatkan kemungkinan bagi anak untuk berespon yang sama
di kemudian hari.
Interval : Setelah anak berespon dan mendapat
konsekuensi, interval diberikan sekitar 3-5 menit antara konsekuensi
dan instruksi selanjutnya. Gunanya sebagai pemberitahuan pada anak
bahwa instruksi yang terdahulu telah selesai dan menyiapkan anak untuk
instruksi berikutnya. Bila tidak ada interval waktu, anak bisa saja
mencampuradukkan instruksi berikut dengan instruksi sebelumnya.
d.Enam kemampuan dasar
Berbagai kemampuan yang diajarkan melalui program ABA dapat dibedakan menjadi enam kemampuan dasar, yaitu :
Kemampuan memperhatikan (Attending Skill)
Pada program ini terdapat dua prosedur. Pertama melatih anak untuk bisa
memfokuskan pandangan mata pada orang yang ada di depannya atau disebut
dengan kontak mata. Yang kedua melatih anak untuk memperhatikan keadaan
atau objek yang ada di sekelilingnya. (Lovass dkk,1996).
Kemampuan menirukan (Imitation Skill)
Pada kemampuan imitasi anak diajarkan untuk meniru gerakan motorik
kasar dan halus. Selanjutnya, urutan gerakan, meniru gambar sederhana
atau meniru tindakan yang disertai bunyi-bunyian (Lovass dkk,1996;
Hardiono & Nakita,2002).
Bahasa reseptif
Melatih anak agar
mempunyai kemampuan mengenal dan bereaksi terhadap seseorang, terhadap
kejadian lingkungan sekitarnya, mengerti maksud mimik dan nada suara
dan akhirnya mengerti kata-kata (Hardiono,2002).
Bahasa ekspresif
Melatih kemampuan anak untuk mengutarakan pikirannya, dimulai dari
komunikasi preverbal (sebelum anak dapat bicara), komunikasi dengan
ekspresi wajah, gerakan tubuh dan akhirnya dengan menggunakan kata-kata
atau komunikasi verbal (Hardiono,2002)
Kemampuan praakademis
Melatih anak untuk dapat bermain dengan benar, memberikan permainan
yang mengajarkan anak tentang emosi, hubungan ketidakteraturan
(irregularities), dan stimulus-stimulus di lingkungannya seperti
bunyi-bunyian serta melatih anak untuk mengembangkan imajinasinya lewat
media seni seperti menggambar benda-benda yangada di sekitarnya (Lovass
dkk,1996).
Kemampuan mengurus diri sendiri (Self Help Skill)
Program ini bertujuan untuk melatih anak agar bisa memenuhi kebutuhan
dirinya sendiri. Pertama anak dilatih untuk bisa makan sendiri, umumnya
pada anak yang normal dia dapat mempelajarinya dengan mudah. Tetapi
untuk penderita autisme ini membutuhkan waktu yang lama dan bertahap.
Yang kedua anak dilatih untuk bisa buang air kecil atau yang disebut
toilet training. Kemudian tahapan selanjutnya adalah dressing, brushing
or combing hair and tooth brushing. Pelatihan ini dilakkan secara
pelan-pelan dan bertahap (Azrin & Fox, 1971)
e.Tehnik Pengajaran
Untuk
dapat mengajarkan ketrampilan yang komplek pada anak autistik dapat
digunakan tehnik shaping dan prompting. Tehnik ini biasanya digunakan
karena respon yang mau diajarkan belum dapat dimunculkan oleh si anak
atau tidak cukup sering muncul, sehingga bisa digunakan reinforcer saja.
Tehnik shapping
Tehnik ini digunakan bila kemampuan yang seharusnya dimiliki anak belum
ada, sebelum anak dapat memunculkan respon yang tepat. Pada tehnik ini,
terapis akan memberi reinforcer pada respon-respon yang dimiliki oleh
anak, yang mirip dengan respon yang tepat. Reinforcer akan diberikan
pada respon yang semakin lama semakin mirip dengan respon target.
Sampai akhirnya anak mampu memunculkan respon yang merupakan target
awal.
Tehnik prompting
Pada tehnik ini anak akan diberikan
bantuan ekstra karena belum mampu memberikan respon yang belum tepat.
Prompt bisa berupa verbal prompt (terapis menyebutkan kata-kata yang
tepat), modelling prompt (terapis mendemontrasikan kepada anak respon
yang tepat) dan physical prompt (terapis membimbing anak secara fisik
agar mampu menunjukkan respon yang tepat). Yang harus dihindari dari
tehnik ini adalah ketergantungan anak pada prompt, dimana anak tidak
bisa memunculkan respon yang tepat bila tidak diberikan prompt
(Nakita,2002).
f.Tehnik Jembatan (Shadowing)
Bila anak kesulitan
di sekolah umum, biasanya akan dilakukan tehnik inklusi atau integrasi
dan tehnik shadowing. Tehnik tersebut umumnya dilakukan di masa-masa
awal anak mengikuti kegiatan di sekolah umum. Caranya, terapis (shadow)
yang selama ini membantu anak di rumah, ikut hadir di kelas bersama
anak. Ia berfungsi untuk menjembatani atau membantu anak mengerti
instruksi-instruksi atau stimulus-stimulus dari lingkungan. Kalau
perlu, shadow akan melakukan prompt terhadap anak. Namun penggunaan
prompt oleh shadow memang dibatasi supaya anak belajar mandiri
(Nakita,2002).
2.3Terapi Bicara
Gangguan bicara dan berbahasa di
derita oleh hampir semua anak autisme. Tatalaksana melatih bicara dan
berbahasa harus dilakukan oeh ahlinya karena merupakan gangguan yang
spesifik pada anak autisme. Anak dipaksa untuk berbicara sekata demi
sekata, cara ucapan harus diperhatikan, kemudian diajarkan berdialog
setelah mampu berbicara. Anak dipaksa untuk memandang terapis, seperti
diketahui anak austistik tidak mau adu pandang dengan orang lain.
Dengan adanya kontak mata diharapkan anak dapat meniru gerakan bibir
terapis (Soemarno,1992).
2.4Terapi okupasional
Melatih anak untk
menghilangkan gangguan perkembangan motorik halusnya dengan memperkuat
otot-otot jari supaya anak dapat menulis atau melakuakan ketrampilan
lainnya.
2.5Pendidikan Khusus
Anak autistik mudah sekali teralih
perhatiannya, karena itu pada pendidikan khusus satu guru menghadapi
satu anak dalam ruangan yang tidak luas dan tidak ada gambar-gambar di
dinding atau benda-benda yang tidak perlu, yang dapat mengalihkan
perhatian anak. Setelah ada perkembangan mulai dilibatkan dalam
lingkungan kelompok kecil, kemudian baru kelompok yang lebih besar.
Bila telah mampu bergaul dan berkomunikasi mulai dimasukkan pendidikan
biasa di TK dan SD untuk anak normal (Soemarno,1992)
2.6Terapi Alternatif
Yang digolongkan terapi alternatif adalah semua terapi baru yang masih berlanjut dengan penelitian.
Terapi detoksifikasi
Terapi ini menggunakan tentang nutrisi dan toksikologi. Terapi ini
bertujuan untuk menghilangkan atau menurunkan kadar bahan-bahan beracun
yang lebih tinggi dalam tubuh anak autisme dibanding dengan anak
normal, agar tidak mengancam perkembangan otak. Terutama bahan beracun
merkuri atau air raksa dan timah yang mempengaruhi sistem kerja otak.
Terapi ini meliputi mandi sauna, pemijatan dan shower, diikuti
olahraga, konsumsi vitamin dosis tinggi, serta air putih minimal 2
liter sehari. Tujuannya untuk mengeluarkan racun yang menumpuk dalam
tubuh (Edelson,1997)
The Option Method
Tujuan utama metode ini
adalah meningkatkan kebahagiaan penyandang autisme dengan membantu
mereka menemukan sistem kepercayaan diri masing-masing, Dasar
pemikirannya adalah pandangan bahwa anak autis cenderung menutup diri
terhadap dunia luar atau hidup dalam dunianya sendiri. Dengan adanya
sikap menutup diri, kemampuan interaksi sosial anak tidak berkembang.
Sehingga ketika anak berinteraksi dengan orang lain, ia menilainya
sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan dan justru membuat anak semakin
menarik diri.
Proses terapi ini menekankan penerimaan orang tua
terhadap perilaku anaknya sebagai sesuatu yang tidak menyimpang,
melainkan cara anak untuk mengerti dan mengontrol dunianya. Orang tua
harus terlibat kuat pada kegiatan obsesif anaknya (Suzi &
Kaufman,1998)
Sensory Integration Therapy
Kemampuan integrasi
sensoris adalah kemampuan untuk memproses impuls yang diterima dari
berbagai indera secara stimulan. Banyak anak autis yang diketahui
mengalami kesulitan dalam memproses stimulus sensoris yang kompleks.
Anak autis yang masuk dalam golongan ini umumnya menunjukkan
ketidakpekaan sensoris tertentu. Terapi ini bertujuan meningkatkan
kesadaran sensoris dan kemampuan berespon terhadap stimulus sensoris
tersebut. Untuk itu dalam terapi ini digunakan stimulus yang bervariasi
dan ba
II.7 Prognosis
Pada gangguan autisme, anak yang
mempunyai IQ diatas 70 dan mampu menggunakan komunikasi bahasa
mempunyai prognosis yang baik,. Kira-kira dua pertiga orang dewasa
autisme bergantung sepenuhnya atau setengah bergantung pada keluarga
atau di rumah sakit jiwa. Hanya 1-2% dapat hidup normal dan berstatus
independent, dan 5-20% mendapat status normal borderline (Hagberg,1981)
DAFTAR PUSTAKA
Aeni, dkk., 2001., Gangguan Perkembangan Pervasif : Ilustrasi 1 Kasus, Jurnal Medika Nusantara., Vol : 22(2) : 347-54
Azrin & Fox., 1971., Teaching Develompentally Disable Children., Pro-ed., Austin Texas
Budiman,
M., 1997., Tatalaksana Terpadu Pada Autisme, dalam : Simposium
Tatalaksana Autisme., Gangguan Perkembangan anak., Yayasan Autisme
Indonesia., Jakarta
Campbell, M., shay dkk., 1983., Pervassif Development Disorder., Comprehensive Text Book of Psychiatry., 2277-2293
Courchesne., 1991., Gangguan Perkembangan Pervasif : Ilustrasi 1 kasus, jurnal Medika Nusantara., Vol : 22(2) : 347-54
Edelson, S., 1997., Menangani Anak Autisme., Panduan Tumbuh Kembang Balita., Nakita., 2002., Vol : 30
Giangreco,M.,
Edelma,S., Luiselli,T., and MacFarland,S., 1997., Helping or hovering ?
Effects of instructional assistant proximaty on student with
disabilities., Exceptional Children., 64., No.I., 7-18
Hartono., Infantil Autism., Majalah Medical Indonesia., Edisi V., 1998., Yayasan Autisme Indonesia., Jakarta
Kaplan,
H.S., Saddock,B.J., Greb,J.A., 1994., Synopsis of Psychiatry Behavioral
Scienses., Clinical Psychiatry Refford DC (Ed). Williams &
Wilkins., Baltimore
Lensing, dkk., 1995., Gangguan Perkembangan Pervassif., Ilustrasi 1 Kasus, Jurnal Medika Nusantara., vol:22(2):347-54
Leventhal,dkk., 1993., Gangguan Perkembangan Pervassif., Ilustrasi 1 Kasus, Jurnal Medika Nusantara, Vol:22(2):347-54
Lovass,O.I, dkk., 1996., Teaching Developmentally Disable Children., Pro-ed Austin., Texas
Lumbantobing,S.M., 2001., Anak Dengan Mental Terbelakang., Balai Penerbit Fakultas kedokteran Indonesia
Newson,dkk.,
1998., Long-term Otcome For Children With Autisme Who Received Early
Intensive Behavioral Treatment., University of California., Los Angeles
Rapin, I., Autistic Spectrum Disorder Across The Life Span., AAN., 2001
Soemarno., 1992.,Gangguan Autisme., Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran., Universitas Gadjah Mada
Sutadi, R., 1997., Tatalaksana Perilaku Pada Penyandang Autisme., Yayasan Autisme Indonesia., Jakarta
Suzi., & Kaufman., 1998., Menangani Anak Autis., Panduan Tumbuh Kembang Balita., Nakita., 2002 Vol :30
Anonim., Mengenal Autisme., http://www.smartschool.com
Anonim., Autisme., http://www.medicastore.com
Anonim., Autisme bisa disembuhkan, kenyataan dan harapan., http://www.peduliautisme.com
saya memiliki adik keponakan yang udah 11th blom bisa apa2!blom bisa makan sendiri,lom bisa jalan dy hanya berbaring aza di atas ranjang! kluarga kami da berusaha untuk kesembuhan adikku ini tp tidak ada hasilnya!
suatu hari adikku dibawa kerumah sakit ma tetanggaku terus dokter bilang adikku harus di operasi untuk mengeluarkan cairan di kepalanya!tapi sampai sekarang adikku belom di operasi karena belum ada biaya!
jika ada biaya mungkin adikku udah operasi!
semoga aja ada demawan yang mw membantu adikku! Amien
Rinie
Malang-Jawa timur
HP : 085233074727
SukaSuka
Saya sering searching mengenai autis, ternyata saat ini banyak sekali orang yang kian peduli terhadap autis. Saya juga dulunya orangtua anak autis . terimkasih atas sumbangsarannya bagi autis di indonesia
salam kenal riswanto
http://www.autisfamily.blogspot.com
SukaSuka